ASN Garut Dilarang Pakai iPhone? 5 Fakta Mengejutkan di Balik Aplikasi Absensi 'Berakhlak'
Transformasi digital di sektor pemerintahan adalah narasi besar tentang efisiensi, namun studi kasus dari Kabupaten Garut mengungkap sebuah realita yang jauh lebih kompleks. Melalui aplikasi absensi wajib bernama Era BerAkhlak, terungkap serangkaian kebijakan kontroversial dan tantangan teknis yang memicu perdebatan. Dari eksklusi teknologi hingga pengakuan jujur seorang bupati, kebijakan ini membuka tabir ironi yang sering kali tersembunyi di balik proyek modernisasi birokrasi. Mari kita bedah lima fakta mengejutkan di baliknya.
--------------------------------------------------------------------------------
1. Kejutan Pertama: Pengguna iPhone "Dihimbau" Pindah ke Android
Dalam sebuah langkah yang menimbulkan pertanyaan serius tentang inklusivitas digital dan kebijakan Bring Your Own Device (BYOD) di sektor publik, Pemerintah Kabupaten Garut secara efektif melarang penggunaan iPhone untuk aplikasi absensi wajib. Melalui surat resmi dari Badan Kepegawaian dan Diklat (BKD) tertanggal 29 Desember 2023, diumumkan bahwa aplikasi "Presensi Berakhlak" tidak lagi dapat digunakan di perangkat berbasis iOS.
Surat tersebut menghimbau pegawai pengguna iPhone untuk beralih ke smartphone Android dengan spesifikasi minimal versi 6 dan RAM 4 GB. Kebijakan ini, yang berlaku mulai 3 Januari 2024, tidak hanya menggantikan sistem sidik jari (fingerprint) yang lama, tetapi juga mewajibkan semua pengajuan administrasi seperti dinas luar, izin, sakit, dan cuti dilakukan melalui aplikasi. Analisis yang lebih dalam menunjukkan ini bukan sekadar ketidaknyamanan, melainkan sebuah kegagalan fundamental dalam pengembangan teknologi layanan publik. Membebankan biaya penggantian perangkat pribadi kepada pegawai demi menutupi keterbatasan sistem adalah bentuk eksklusi teknologi yang seharusnya tidak terjadi dalam proyek pemerintah.
--------------------------------------------------------------------------------
2. Bukan Salah Pegawai, Tapi Salah Sistem: Perspektif Tak Terduga dari Bupati
Di tengah narasi umum yang sering menyalahkan individu atas kegagalan sistemik, Bupati Garut, Abdusy Syakur Amin, menawarkan perspektif yang menyegarkan. Ia secara terbuka mengakui bahwa rendahnya tingkat kehadiran—bahkan ada yang tercatat nol—bukan sepenuhnya kesalahan pegawai.
Bupati memberikan contoh spesifik seorang guru penilik yang absensinya tercatat nol bukan karena mangkir, melainkan karena ia tidak pernah menggunakan aplikasi dan tidak memiliki titik login yang jelas untuk posisinya. Pengakuan ini menyoroti kelemahan mendasar dalam implementasi sistem itu sendiri.
“Jadi tadi juga ada satu staff itu, satu guru yang penilik, dia nol (absensinya), kenapa dia tidak pernah menggunakan aplikasi, dan dia tidak punya tempat dimana dia harus login, ini kan bukan masalah dia, ini masalah sistemnya.”
Sikap kepemimpinan yang mengakui kelemahan sistemik alih-alih menyalahkan individu menjadi anomali yang langka dalam birokrasi. Ini adalah pengakuan bahwa teknologi, secanggih apa pun, tidak akan efektif tanpa desain sistem yang matang dan mempertimbangkan setiap realitas di lapangan.
--------------------------------------------------------------------------------
3. Tantangan Nyata: Absensi Digital Melawan "Blank Spot"
Implementasi aplikasi "Presensi Berakhlak", yang menuntut ASN melakukan absensi dalam radius 50 meter dari lokasi tugas, berbenturan langsung dengan realitas infrastruktur digital Garut. Kendala signifikan berupa wilayah blank spot atau area dengan akses internet yang sulit menjadi tantangan nyata bagi banyak pegawai.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah strategi "luncurkan sekarang, perbaiki nanti" yang diadopsi oleh pemerintah daerah. Bupati Abdusy Syakur Amin menyadari penuh masalah ini dan menyatakan perbaikan akan dilakukan bertahap, dengan target sistem baru akan benar-benar "beres" pada tahun 2026. Ini mengekspos sebuah cacat logika yang krusial: bagaimana mungkin sebuah sistem yang menjadi dasar penegakan disiplin dan sanksi diberlakukan secara ketat, sementara pimpinannya sendiri mengakui bahwa sistem tersebut tidak akan berfungsi optimal selama dua tahun ke depan? Ini menciptakan kondisi di mana pegawai menanggung risiko sanksi akibat kegagalan alat yang belum sepenuhnya siap.
--------------------------------------------------------------------------------
4. Ironi Disiplin: Aplikasi Wajib Penuh "Bug" dan Keluhan Pengguna
Ironi terbesar dari kebijakan ini terletak pada kontras antara tuntutan disiplin yang kaku dengan kualitas aplikasi yang disediakan. Bupati menegaskan bahwa ketidakabsenan akan dianggap sebagai "kelalaian yang disengaja" dan berkonsekuensi sanksi. Namun, ulasan pengguna di Google Play Store melukiskan gambaran aplikasi yang tidak stabil dan penuh masalah.
Berikut adalah beberapa keluhan utama dari para ASN:
• Aplikasi sering mengalami error dan tidak dapat diakses.
• Fitur verifikasi wajah notifikasinya kerap "wajah tidak cocok", menghabiskan waktu pegawai.
• Laporan rekapitulasi kehadiran sering kali gagal dimuat ulang (refresh).
• Persepsi umum bahwa tidak ada helpdesk atau layanan bantuan yang responsif.
Poin terakhir ini menciptakan paradoks akuntabilitas. Meskipun surat resmi BKD menyatakan bahwa pengaduan teknis dapat disampaikan kepada "verifikatur/pembina wilayah masing-masing," keluhan pengguna menunjukkan adanya kesenjangan masif antara kanal resmi yang ditunjuk dengan pengalaman nyata di lapangan. Pegawai dituntut akuntabel, sementara sistem pendukungnya dirasa tidak hadir dan tidak akuntabel kepada penggunanya.
--------------------------------------------------------------------------------
5. Lebih dari Sekadar Absen: Menanamkan Nilai Inti "BerAKHLAK"
Di balik semua kontroversi teknisnya, nama "Berakhlak" merujuk langsung pada Core Values ASN nasional: Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif. Tujuannya, seperti dijelaskan dalam "Buku Panduan BerAkhlak Garut", adalah membangun budaya kerja profesional untuk mewujudkan birokrasi berkelas dunia.
Di sinilah letak ironi utamanya. Sebuah aplikasi yang dimaksudkan untuk menanamkan nilai Akuntabel dan Kompeten justru menunjukkan implementasi yang kurang kompeten dan sistem pendukung yang dirasa tidak akuntabel oleh penggunanya. Alih-alih menjadi instrumen penegak nilai-nilai luhur, aplikasi ini justru menjadi studi kasus tentang bagaimana eksekusi teknis yang buruk dapat mendelegitimasi filosofi besar yang diusungnya.
--------------------------------------------------------------------------------
Kesimpulan
Perjalanan transformasi digital Pemkab Garut melalui aplikasi "Presensi Berakhlak" adalah sebuah mikrokosmos dari tantangan reformasi birokrasi. Ia dipenuhi ambisi luhur, namun terperosok dalam jebakan eksekusi yang cacat, eksklusi teknologi, dan kesenjangan antara kebijakan dengan realitas infrastruktur. Ini adalah cerminan dari betapa rumitnya menyeimbangkan antara visi besar dengan implementasi di dunia nyata.
Pada akhirnya, mampukah sebuah aplikasi benar-benar menempa disiplin dan karakter, atau ia hanya cermin yang lebih jelas dari tantangan-tantangan mendasar yang perlu kita selesaikan terlebih dahulu?
.png)
Posting Komentar untuk "ASN Garut Dilarang Pakai iPhone? 5 Fakta Mengejutkan di Balik Aplikasi Absensi 'Berakhlak'"