KONSEP PENDIDIKAN
MENURUT KI HAJAR DEWANTARA
Konsep Ki Hajar “ Pendidikan ( opvoeding ) dan Pengajaran (
onderwijs )
Pengajaran merupakan bagian dari Pendidikan. Pengajaran merupakan
proses Pendidikan dalam memberi ilmu atau berfaidah untuk kecakapan hidup anak secara
lahir dan batin.
Sedangkan pendidikan memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Jadi menurut Ki Hajar Dewantara (2009), “pendidikan dan pengajaran merupakan usaha persiapan dan persediaan untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti yang seluas-luasnya”.
Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam
masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia
yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya.
Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan
yang dapat diteruskan atau diwariskan.
Ki Hadjar menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: "menuntun
segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai
anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya
dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada
pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup
dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak”
Dalam menuntun laku dan pertumbuhan kodrat anak, KHD mengibaratkan
peran pendidik seperti seorang petani atau tukang kebun. Anak-anak itu seperti
biji tumbuhan yang disemai dan ditanam oleh pak tani atau pak tukang kebun di
lahan yang telah disediakan. Anak-anak itu bagaikan bulir-bulir jagung yang
ditanam. Bila biji jagung ditempatkan di tanah yang subur dengan mendapatkan
sinar matahari dan pengairan yang baik maka meskipun biji jagung adalah bibit
jagung yang kurang baik (kurang berkualitas) dapat tumbuh dengan baik karena
perhatian dan perawatan dari pak tani. Demikian sebaliknya, meskipun
biji jagung itu disemai adalah bibit berkualitas baik namun tumbuh di lahan
yang gersang dan tidak mendapatkan pengairan dan cahaya matahari serta ‘tangan
dingin’ pak tani, maka biji jagung itu mungkin tumbuh namun tidak akan optimal.
Dalam proses ‘menuntun’ anak diberi kebebasan namun pendidik
sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan arahan agar anak tidak kehilangan
arah dan membahayakan dirinya. Seorang ‘pamong’ dapat memberikan ‘tuntunan’
agar anak dapat menemukan kemerdekaannya dalam belajar.
KHD juga mengingatkan para pendidik untuk tetap terbuka namun tetap
waspada terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, “waspadalah, carilah
barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita
dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru
tersebut dilaraskan lebih dahulu”. KHD menggunakan ‘barang-barang’ sebagai
simbol dari tersedianya hal-hal yang dapat kita tiru, namun selalu menjadi
pertimbangan bahwa Indonesia juga memiliki potensi-potensi kultural yang dapat
dijadikan sebagai sumber belajar. HD menjelaskan bahwa dasar Pendidikan anak
berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam
berkaitan dengan “sifat” dan “bentuk” lingkungan di mana anak berada, sedangkan
kodrat zaman berkaitan dengan “isi” dan “irama”. KHD mengelaborasi Pendidikan
terkait kodrat alam dan kodrat zaman sebagai berikut
“Dalam melakukan pembaharuan yang terpadu, hendaknya selalu diingat
bahwa segala kepentingan anak-anak didik, baik mengenai hidup diri pribadinya
maupun hidup kemasyarakatannya, jangan sampai meninggalkan segala kepentingan
yang berhubungan dengan kodrat keadaan, baik pada alam maupun zaman. Sementara
itu, segala bentuk, isi dan wirama (yakni cara mewujudkannya) hidup dan
penghidupannya seperti demikian, hendaknya selalu disesuaikan dengan
dasar-dasar dan asas-asas hidup kebangsaan yang bernilai dan tidak bertentangan
dengan sifat-sifat kemanusiaan” (Ki Hadjar Dewantara, 2009, hal. 21)
KHD hendak mengingatkan pendidik bahwa pendidikan anak sejatinya
melihat kodrat diri anak dengan selalu berhubungan dengan kodrat zaman. Bila
melihat dari kodrat zaman saat ini, pendidikan global menekankan pada kemampuan
anak untuk memiliki Keterampilan Abad 21 dengan melihat kodrat anak Indonesia
sesungguhnya. KHD mengingatkan juga bahwa pengaruh dari luar tetap harus
disaring dengan tetap mengutamakan kearifan lokal budaya Indonesia. Oleh sebab
itu, isi dan irama yang dimaksudkan oleh KHD adalah muatan atau konten pengetahuan
yang diadopsi sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. KHD
menegaskan juga bahwa didiklah anak-anak dengan cara yang sesuai dengan
tuntutan alam dan zamannya.
Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan
antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan
tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta
(kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor). Sedih
merupakan perpaduan harmonis antara cipta dan karsa demikian pula Bahagia.
Lebih lanjut KHD menjelaskan, keluarga menjadi tempat yang utama
dan paling baik untuk melatih pendidikan sosial dan karakter baik bagi seorang
anak. Keluarga merupakan tempat bersemainya pendidikan yang sempurna bagi anak
untuk melatih kecerdasan budi-pekerti (pembentukan watak individual). Keluarga
juga menjadi ruang untuk mempersiapkan hidup anak dalam bermasyarakat dibanding
dengan pusat pendidikan lainnya.
Alam keluarga menjadi ruang bagi anak untuk mendapatkan teladan,
tuntunan, pengajaran dari orang tua. Keluarga juga dapat menjadi tempat untuk
berinteraksi sosial antara kakak dan adik sehingga kemandirian dapat tercipta
karena anak-anak saling belajar antar satu dengan yang lain dalam menyelesaikan
persoalan yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, Peran orang tua sebagai guru,
penuntun dan pemberi teladan menjadi sangat penting dalam pertumbuhan karakter
baik anak.
Dasar Dasar Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara
1. Arti dan Masksud Pendidikan
Kata ‘Pendidikan’ dan ‘Pengajaran’ itu seringkali dipakai Bersama- sama. Sebenarnya gabungan kedua kata itu dapat mengeruhkan pengertiannya yang asli. Ketahuilah, pembaca yang terhormat, bahwa sebernarnya yang dinamakan ‘pengajaran’ (onderwijs) itu merupakan salah satu bagian dari Pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah Pendidikan dengan cara memberi ilmu atau berfaedah buat hidup anak-anak, baik lahir maupun batin. Sekarang saya akan menerangkan arti dan maksud Pendidikan (opvoeding) pada umumnya. Dengan sengaja saya memakai keterangan ‘pada umumnya’, karena dalam arti khususnya, Pendidikan mempunyai beragam jenis pengertian. Bisa dikatakan bahwa tiap-tiap aliran hidup, baik aliran agama maupun aliran kemasyarakatan mempunyai maksud yang berbeda. Tidak hanya maksud dan tujuannya yang berbeda-beda, cara mendidiknya juga tidak sama. Mengenai keadaan yang penting ini, saya kan menerangkan secara lebih luas.
Walaupun bermacam-macam maksud, tujuan, cara, bentuk, syarat- syarat dan alat-alat dalam soal Pendidikan, Pendidikan yang berhubungan dengan aliran-aliran hidup yang beragam itu memiliki dasar-dasar atau garis-garis yang sama.
Menurut pengertian umum, berdasarkan apa yang dapat kita saksikan dalam beragam jenis Pendidikan itu, Pendidikan diartikan sebagai ‘tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak’. Maksud Pendidikan yaitu: menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
2. Hanya Tuntunan dalam Hidup
Pertama kali harus diingat, bahwa Pendidikan itu hanya suatu ‘tuntunan’
di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Artinya, bahwa hidup tumbuhnya anak
itu terletak di luar kecakapan atau kehendak kita kaum pendidik. Anak-anak itu
sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh
menurut kodratnya sendiri.
Seperti penjelasan sebelumnya, bahwa ‘kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak itu’ tiada lain ialah segala kekuatan yang ada dalam hidup batin dan
hidup lahir dari anak-anak itu karena kekuasaan kodrat. Kita kaum pendidik
hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan- kekuatan itu, agar dapat
memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.
Uraian tersebut akan lebih jelas jika kita ambil contoh perbandingannya
dengan hidup tumbuh-tumbuhan seorang petani (dalam hakikatnya sama kewajibannya
dengan seorang pendidik) yang
menanam padi misalnya, hanya dapat menuntun tumbuhnya padi, ia dapat
memperbaiki kondisi tanah, memelihara tanaman padi, memberi pupuk dan air,
membasmi ulat-ulat atau jamur-jamur yang mengganggu hidup tanaman padi dan lain
sebagainya. Meskipun pertumbuhan tanaman pada dapat diperbaiki, tetapi ia tidak
dapat mengganti kodrat- iradatnya padi. Misalnya ia tak akan dapat menjadikan
padi yang ditanamnya itu tumbuh sebagai jagung. Selain itu, ia juga tidak dapat
memelihara tanaman padi tersebut seperti hanya cara memelihara tanaman kedelai
atau tanaman lainnya. Memang benar, ia dapat memperbaiki keadaan padi yang
ditanam, bahkan ia dapat juga menghasilkan tanaman padi itu lebih besar
daripada tanaman yang tidak dipelihara, tetapi mengganti kodrat padi itu tetap
mustahil. Demikianlah Pendidikan itu, walaupun hanya dapat ‘menuntun’, akan
tetapi faedahnya bagi hidup tumbuhnya anak-anak sangatlah besar.
3. Perlukah Tuntunan Pendidikan itu?
Meskpun Pendidikan itu hanya ‘tuntunan’ saja di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, tetapi perlu juga Pendidikan itu berhubungan dengan kodrat keadaan dan keadaannya setiap anak. Andaikata anak tidak baik dasarnya, tentu anak tersebut perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya. Anak yang dasar jiwanya tidak baik dan juga tidak mendapat tuntunan Pendidikan, tentu akan mudah menjadi orang jahat. Anak yang sudah baik dasarnya juga masih memerlukan tuntunan. Tidak saja dengan tuntunan itu ia akan mendapatkan kecerdasan yang lebih tinggi dan luas, akan tetapi dengan adanya tuntunan itu ia dapat terlepas dari segala macam pengaruh jahat. Tidak sedikit anak-anak yang baik dasarnya, tetapi karena pengaruh-pengaruh keadaan yang buruk, kemudian menjadi orang- orang jahat. Pengaruh-pengaruh yang dimaksudkan itu ialah pengaruh yang muncul dari beragam jenis keadaan anak. Anak yang satu mungkin hidup dalam keluarga yang serba kekurangan, sehingga ditemui beragam jenis kesukaran yang menghambat kecerdasan budi anak. Bisa juga dalam keluarga itu tidak ditemui kemiskinan keduniawian, akan tetapi amat kekurangan budi luhur atau kesucian, sehingga anak-anak mudah terkena pengaruh-pengaruh yang jahat. Menurut ilmu Pendidikan, hubungan antara dasar dan keadaan itu terdapat adanya ‘konvergensi’. Artinya, keduanya saling mempengaruhi, hingga garis dasar dan garis keadaan itu selalu tarik-menarik dan akhirnya menjadi satu. Mengenai perlu tidaknya tuntunan dalam kehidupan manusia, sama artinya dengan soal perlu tidaknya pemeliharaan pada tumbuh-kembangnya tanaman. Misalnya, kalau sebutir jagung yang baik dasarnya jatuh pada tanah yang baik, banyak air, dan mendapatkan sinar matahari yang cukup, maka pemeliharaan dari bapak tani tentu akan menambah baiknya keadaan tanaman. Kalau tidak ada pemeliharaan, sedangkan keadaan tanahnya tidak baik, atau tempat jatuhnya biji jagung itu tidak mendapat sinar matahari atau kekurangan air, maka biji jagung itu (walaupun dasarnya baik), tidak akan dapat tumbuh baik karena pengaruh keadaan. Sebaliknya kalau sebutir jagung tidak baik dasarnya, akan tetapi ditanam dengan pemeliharaan yang sebaik-baiknya oleh bapak tani, maka biji itu akan dapat tumbuh lebih baik daripada biji lainnya yang juga tidak baik dasarnya.
4. Dasar Jiwa Anak dan Kekuasaan Pendidikan
Yang dimaksud dengan istilah ‘dasar-jiwa’ yaitu keadaan jiwa yang asli
menurut kodratnya sendiri dan belum dipengaruhi oleh keadaan di luar diri.
Dengan kata lain, keadaan jiwa yang dibawa oleh anak Ketika lahir di dunia.
Mengenai dasar jiwa yang dimiliki anak-anak itu, terdapat tiga aliran yang
berhubungan dengan soal daya Pendidikan.
Pertama,
yaitu anak yang lahir di dunia itu diumpamakan seperti sehelai
kertas yang belum ditulis, sehingga kaum pendidik boleh mengisi kertas yang
kosong itu menurut kehendaknya. Artinya, si pendidikk berkuasa sepenuhnya untuk
membentuk watak atau budi seperti yang diinginkan. Teori ini dinamakan teori
rasa (lapisan lilin yang masih dapat dicoret-coret oleh si pendidik). Namun,
aliran ini merupakan aliran lama yang sekarang hamper tidak diakui kebenarannya
di kalangan kaum cendikiawan.
Kedua,
ialah aliran negative, yang berpendapat, bahwa anak itu lahir sebagai
sehelai kertas yang sudah ditulisi sepenuhnya, sehingga Pendidikan dari
siapapun tidak mungkin dapat mengubah karakter anak. Pendidikan hanya dapat
mengawasi dan mengamati supaya pengaruh- pengaruh yang jahat tidak mendekati
diri anak. Jadi, aliran negative menganggap bahwa pendidikan hanya dapat
menolak pengaruh- pengaruh dari luar, sedangkan budi pekerti yang tidak nampak
ada di dalam jiwa anak tak akan diwujudkan.
Ketiga,
ialah aliran yang terkenal
dengan nama convergentie-theorie. Teori ini mengajarkan, bahwa anak yang
dilahirkan itu diumpamakan sehelai kertas yang sudah ditulisi penuh, tetapi
semua tulisan-tulisan itu suram. Lebih lanjut menurut aliran ini, Pendidikan
itu berkewajiban dan berkuasa menebalkan segala tulisan yang suram dan yang
berisi baik, agar kelak nampak sebagai budi pekerti yang baik. Segala tulisan
yang mengandung arti jahat hendaknya dibiarkan, agar jangan sampai menjadi
tebal, bahkan makin suram. Tabiat yang Dapat dan yang Tidak Dapat Berubah.
Menurut convergentie-theorie, watak manusia itu dibagi menjadi dua bagian. Pertama, dinamakan bagian yang intelligible, yakni bagian yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau pikiran (intelek) serta dapat berubah menurut pengaruh Pendidikan atau keadaan. Kedua, dinamakan bagian yang biologis, yakni bagian yang berhubungan dengan dasar hidup manusia (bios = hidup) dan yang dikatakan tidak dapat berubah lagi selama hidup. Yang disebut intelligible yang dapat berubah karena pengaruh misalnya kelemahan pikiran, kebodohan, kurang baiknya pemandangan, kurang cepatnya berpikir dan sebagainya. Dengan kata lain, keadaan pikiran, serta kecakapan untuk menimbang-nimbang dan kuat-lemahnya kemauan. Bagian yang disebut ‘biologis’ yang tak dapat berubah ialah bagian-bagian jiwa mengenai ‘perasaan’ yang berjenis-jenis di dalam jiwa manusia. Misalnya, rasa takut, ras malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egoisme, rasa sosial, rasa agama, rasa berani, dan sebagainya. Rasa-rasa itu tetap pada di dalam jiwa manusia, mulai anak masih kecil hingga menjadi orang dewasa. Seringkali anak yang penakut, sesuah mendapatkan didikan yang baik akan segera hilang rasa takut tersebut. Sebenarnya anak itu bukan berubah menjadi orang yang berwatak pemberani, hanya saja rasa takutnya itu tidak nampak karena sudah mendapatkan kecerdasan pikiran. Akibatnya, anak tersebut mulai pandai menimbang dan memikir sesuatu sehingga dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut. Hal inilah yang dapat menutup rasa takut yang asli dimiliki anak tersebut. Karena ketakuannya itu hanya ‘tertutup’ saja oleh pikirannya, maka anak tersebut terkadang diserang rasa takut dengan tiba-tiba. Keadaan ini terjadi jika pikirannya sedang tak bergerak. Kalau pikirannya tak bergerak seberat saja, maka ia seketika akan takut lagi menurt dasar biologisnya sendiri. Demikian pula orang yang bertabiat pemalu, belas-kasihan, bengis, murka, pemarah dan sebagainya, selama ia sempat memikirkan segala keadaannya, maka ia dapat menahan nafsunya yang asli. Namun, jika pikirannya tidak sempat bergerak (dalam keadaan yang tiba-tiba datangnya), tentulah tabiat-tabiatnya yang asli itu akan muncul dengan sendiri.
Perlunya Menguasai Diri dalam Pendidikan Budi Pekerti
Watak bologis dan tidak dapat lenyap dari jiwa manusia sangat banyak contohnya. Kita juga dapat melihat dalam kehidupan setiap manusia. Misalnya, orang yang karena pendidikannya, keadaan dan pengaruh lainnya, seharunya berbudi dermawan. Namun demikian, jika ia memang mempunyai dasar watak kikir atau pelit, maka ia kan selalu keliatan kikir, walaupun orang tersebut tahu akan kewajibannya sebagai dermawan terhadap fakir miskin (ini pengaruh pendidikannnya yang baik). Semasa ia tidak sempat berpikir, tentulah tabiat kikir orang tersebut itu akan selalu kelihatan. Setidak-tidaknya kedermawanan orang itu akan berbeda dengan orang yang memang berdasar watak dermawan. Janganlah pendidik itu berputus asa kerana menganggap tabiat- tabiat yang biologis (hidup perasaan) itu tidak dapat dilenyapkan sama sekali. Memang benar kecerdasan intelligible (hidup angan-angan) hanya dapat menutupi tabiat-tabiat perasaan yang tidak baik, akan tetapi harus diingat bahwa dengan menguasai diri (zelfbeheersching) secara tetap dan kuat, ia akan dapat melenyapkan atau mengalahkan tabiat-tabiat biologis yang tidak baik itu. Jadi, kalau kecerdasan budi yang dimiliki orang tersebut sungguh baik, yaitu dapat mengadakan budi pekerti yang baik dan kokoh sehingga dapat mewujudkan kepribadian (persoonlikjkheid) dan karakter (jiwa yang berazas huhum kebatinan), maka ia akan selalu dapat mengalahkan nafsu dan tabiat-tabiatnya yang asli dan biologis tadi. Oleh karena itu, menguasai diri (zelfbeheersching) merupakan tujuan pendidikan dan maksud keadaban. ‘Beschaving is zelfbeheersching’ (adab itu berarti dapat menguasai diri), demikian menurut pengajaran adat atau etika. Kita sekarang sampai pada pembahasan ‘budi pekerti’atau ‘watak’ diartikan sebagai bulatnya jiwa manusia. Dalam bahasa asing, disebut sebagai ‘karakter’, yaitu jiwa yang berazaz hukum kebatinan. Orang yang mempunyai kecerdasan budi pekerti akan senantiasa memikirkan dan merasakan serta memakai ukuran, timbangan dan dasar-dasar yang pasti dan tetap. Watak atau budi pekerti bersifat tetap dan pasti pada setiap manusia, sehingga kita dapat dengan mudah membedakan orang yang satu dengan yang lainnya. Budi pekerti, watak, atau karakter merupakan hasil dari bersatunya gerak pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Perlu diketahui bahwa budi berarti pikiran- perasaan-kemauan, sedangkan pekerti artinya ‘tenaga’. Jadi budi pekerti merupakan sifat jiwa manusia, mulai angan-angan hingga menjelma sebagai tenaga.
Dengan adanya budi pekerti, setiap manusia berdiri sebagai manusia,
dengan dasar-dasar yang jahat dan memang dapat dihilangkan, maupan dalam arti
neutraliseeren (menutup, mengurangi) tabiat-tabiat jahat yang biologis atau
yang tak dapat lenyap sama sekali karena sudah Bersatu dengan jiwa.
Jenis-Jenis Budi Pekerti
Setelah kita mengetahui bahwa budi pekerti seseorang itu dapat mewujudkan
sifat kebatinan seseorang dengan pasti dan tetap, kita juga harus mengetahui
pula bahwa tida ada dua budi pekerti orang yang sama. Jadi, sama keadaanya
dengan roman muka manusia, tida ada dua orang yang sama. Meskipun, orang dapat
membedakan budi pekerti manusia menjadi beberapa macam atau jenis (typen),
sheingga orang dapat mempunyai ikhtisar tentang garis-garis atau sifat-sifat
watak orang secara umum.
Pembagian budi pekerti menjadi beberapa jenis tesrbut berdasarkan pada
sifat angan-angan, sidat perasaaan, dan sidat kemauan (analystis). kemudian,
tiga sifat itu digabungkan menjadi satu (synthetis); sehingga mewujudkan suatu
macam atau tipe budi pekerti yang pasti. Salah satu pembagian tipe budi pekerti
yang terkenal disampaikan oleh almarhum Prof. Dr. Heymans, guru besar
Universitas Groningen, yang sudah mengadakan penyelidikan disertai percobaan
dan ditetapkan adanya 8 jenis budi pekerti orang.
Ada pula yang membagi budi pekerti menjadi beberapa jenis berdasarkan
hasrat seseorang. jadi, bukan pembagian analytis, akan tetapi pembagian secara
globa dan etis (etis = menurut rasa adab). Adapun Prof. Spranger membagi budi
pekerti menjadi 6 jenis, yakni bersandar pada Hasrat orang pada: 1. Kekuasaan
(machtsmensch), 2. Agama (religious mench), 3. Keindahan (kunstmensch), 4.
Kegunaan atau faedah (nutsmensch atau econimisch mensch), 5. Pengetahuan atau
kenyataan (wetenschaps) dan 6. Menolong mendermakan atau mengabdi (sociale
mensch). Selain dua macam pembagian tersebutm terdapat pula teori-teori tentag
jenis-jenis budi pekerti yang lain. Misalnya, menghubungkan sifat jasmani seseorang
dengan watak orang tersebut (Prof. Kretschner), seperti ilmu firasat dari Imam
Syafi’i. kemudian, terdapat pula pendapat yang mengukur budi- pekerti orang
dengan melihat cara seseorang memandang dirinya sendiri sebagai pusat
pemandangan, atau sebaliknya, sebagai sebagain saja dari alam yan gbsar ini
(Adler, Kunkel). Ada pula yang mengadakan pembagian introversen dan exroversen
(Jung), yaitu orang yang selalu memandang ke dalam batinya sendiri, atau yang
memandag ke arah luat, dan demikianlah seterusnya. Dalam soal watak atau budi
pekerti manusia, jangan dilupakan bahwa tiap-tiap manusia mendapat pengaruh
dari yang menurunkan (eferlijkheidsleer). Jadi , sama pula dengan menurunya
sifat-sifat jasmani dari tiap-tiap orang (sifatnya roman muka, rambutnya, warna
kulitnya, pendek- tingginya badan, dan lain-lain). Jangan dilupan juga bawh
sperti yang sudah diuraikan sebelumnya, pendidikan dan segala pengalaman tersebut
berpengaruh besar pada tumbuhnya budi pekerti.
Naluri Pendidikan
Setelah ikhtisar arti, maksud, dan tujuan Pendidikan dijelaskan
pada uraian sebelumnya, sekarang akan dijelaskan bagian-bagian khusu: untuk permulaan
mengenai syarat-syarat dan alat-alat dalam Pendidikan yang teratur. Disebut
‘yang teratur’, sebab Pendidikan itu sebenarnya berlaku di tiap-tiap keluarga
dengan cara yang tidak teratur. Berlakunya Pendidikan Permainan Anak Adalah
Pendidikan
Barangkali pembaca sudah pernah mendengar, bahwa dalam Taman Siswa diadakan kelompok Taman Anak, yang di HIS sama dengan Voorklas, Kelas 1, II dan III. Sementara, kelompok yang kedua dinamakan Lagere School (Taman Muda), yaitu mulai kelas 4 sampai 7 jika menurut aturan HIS. Kedua kelompok tersebut mempunyai ketua sendiri-sendiri,. Metode pengajaran yang digunakan pada keduanya juga berdea. Umpanyanya, pengajar di Taman Anak semunya adlaah guru wanita (sontrang/mentrik). Sebab, rasa batin anak kecil (kecintaan, tasa takut, bangga, manja) masih tertuju kepada Ibunya sehingga anak-anak tersebut masih sehati dengan pendidik wanita. Adapun pada HIS kelas yang tinggi, anak-anak kebanyakan sudah berlagak seperti laki-laki dewasa dan suka bergaul dengan bapaknya. Oleh karena itu, mereka harus dididik oleh guru laki-laki. Selain itu, mata pelajaran di Taman Anak tersebut dikonsentrasikan pada pelajaran Latihan panca indra. Sebab, mendidik anak kecil itu bukan atau belum memberikan pengetahuan, akan tetapi baru berusaha akan menyempurnakan rasa pikiran. Segala tenaga dan tingkah laku lahir yang mereka miliki sebenarnya besar pengaruhnya bagi kehidupan batin mereka dan demikian pula sebaliknya. Jalan perantaraan Pendidikan lahir ke dalam batinnya tesebut adlaah melalui paca indra. Maka dari tiu, Latihan paca indra adalah pekerjaan lahir untuk mendidik batin (pikiran, rasa, kemauan, nafsu dan lain-lain).
Di Eropa, metode pengajaran seperti itu juga diakui. Orang yang
pertama mendidik anak dnegna cara demikian ialah sang pujangga pendidik, Dr. Frobel.
Selain itu, juga ada sang pujangg wanita, yakni Dr. Maria Montessori di kota
Roma (Italia). Metode Frobel dan Montessori in mempunyai perbedaan yang cukup
besar, tetapi ini yang dimiliki sebenarnya sama, yaitu mencari jalan lahir
untuk mendidik batin. Mari kita Kembali ke pembahasan tentang ‘Taman Anak’ di
Yogyakarta.
Dalam proses pembelajarannya, ternyata tidak hanya mengkonsentrasikan pada pelajaran (latihan) panca indra saja, tetapi permainan anak juga dimasukkan pada pembelajaran di sekolah sebagai kultur. Kita tidak dapat membandingkan metode Frobel, Montessori dan Taman Siswa tentang pengaruh tenaga lahir pada batin seperti berikut :
a. Montessori mementingkan pelajaran panca indra, hingga ujung jari
pun dihidupkan rasanya, menghadirkan beberapa alat untuk latihan panca indra
dan semua itu bersifat pelajaran. Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi
permainan tidak dipentingkan.
b. Frobel juga mendjaikan panca indra sebagai konsentrasi pembelajarannya,
tetapi yang diutamakan adlah permainan anak- anak, kegembiraan anak, sehingga
pelajaran panca indra juga diwujudkan mengjadi barang-barang yang menyenangkan
anak. Namun, dalam proses pembelajarannya anak masih diperintah.
c. Taman Siswa bisa dikatakan memakai kedua metode tersebut, akan tetapi pelajaran paca indra dan permainan aka itu tidak dipisah, yaitu dianggap satu. Sebab, salam Taman Siswa terdapat kepercayaan bahwa dalam segala tingkah laku dan segala kehidupan anak-anak tersebut sudah diisi Sang Maha Among (Pemelihara) dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak. Beberapa contoh dapat disebutkan, misalnya permainan anak Jawa seperti: sumbar, gateng, dan unclang ang mendidik anak agar saksama (titi paritis), cekatan, menjernihkan penglihatan dan lain-lain. Kemudian juga permainan seperti: dakon, cublak-cubak suweng dan kubuk yang mendidik anak tentang pengertian perhitungan dan perkiraan (taksiran). selain itu, permainan gobag, trembung, raton, cu, geritan, obrog, panahan si, jamuran, jelungan, dan lain-lain.nya yang bersifat olahraga yang tentunya akan mendidik anak dalam hal: kekuatan dan kesehatan badan, kecekatan dan keberanian, ketajaman dalam penglihatan dan lain-lain ada juga permaianan seperti: mengutas bunga (ngronce), menyulam daun pisang atau janur, atau membuat tikar, dan pekerjaan anak lainna yang dapat menjadikan mereka memiliki sikanp tertib dan teratur. Melihat kondisi anak kita sendiri seperti yang dtelah dijelaskan diatas, sudah barang tentu bahwa kita bangsa Indonesia juga memiliki sejenis metode Montessori dan metode Froble yaitu Metode Kodrat Iradat (Natur dan Evolusi). Bisa juga dinamakan metode Kaki Among Nini Among, yaitu metode Among Siswa.
Dengan demikian, sangat jelas bahwa kita tidak perlu mengadakan barang tiruan jika memang kitas dudah mempunyai barang tersebtu sendiri. Sebagab, barang tiruan tidak akan dapat menyamai barang yang munri seperti kepunyaan sendiri. Kain cap meskipun indah rupanya, tetapi derajatnya dibawah kain batik. Yang boleh kita pakai sebagai alat penghidupan yaitu barang-barang yang tidak kita miliki. Namun, waspadalah, carilah barang-barang yang bermanfaat untuk kita, yang dapat menambah kekayaan kita dalam hal kultur lahir atau batin. Jangan hanya meniru. Hendaknya barang baru tersebut dilaraskan lebih dahulu. Maksdunya, disesuaikan dengan rasa kita dan keadaan hidup kita. Inilah yang dinamakan “menasionalisasikan”. Penjelasan singkat tentang permainan anak sebagai alat pendidikan dan juga tentang asas-asasnya ‘Taman Anak’ dala Taman Siswa yang disesuaikan dengan metode Montessori dan Frobel tersebut bertujuan agar kaum pendidik dan ibu-ibu dapat mengadakan metode sendiri yang selaras dengan kehidupan bangsa kita.
Posting Komentar untuk "Konsep Pendidikan Menurut Ki Hajar Dewantara (KHD) - Materi Pendidikan Guru Penggerak"